Senin, 14 September 2015

ETHNOMATHEMATICS



ETNHOMATHEMATICS
Kuliah bersama: Prof. Marsigit, MA (09/09/2015)

Ethnomatematika diperkenalkan sebagai sebuah pendekatan dalam memahami dan membelajarkan matematika pada siswa. Konsep ethnomatematika muncul untuk melengkapi berbagai pendekatan yang ada, seperti matematika realistic, konstruktivis, dan lain sebagainya. Konsep “ethno” sendiri dapat dipahami sebagai sesuatu yang berada di akar rumput bukan sesuatu yang berada pada tataran ide. Selama ini memang cenderung pendidikan matematika dimaknai sebagai sebuah mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga munculah berbagai  kendala dan kesan-kesan negatif terhadap matematika pada diri seseorang atau siswa.
Secara lebih jelas bahwa konsep ethno dapat diapahami sebagai sesuatu yang dekat dan berada di sekitar siswa. Dalam makna yang lebih luas dapat juga dipahami sebagai sebuah bentuk budaya yang berkembang di sekitar siswa. Sehingga hal tersebut dekat dan akrab dengan keseharian siswa. Hal itulah yang dianggap sebagi point dalam membelajarkan matematika dengan menggunakan apa yang berada di sekitar dan akrab dengan siswa. Sementara itu bentuk formal matematika merupakan konsep atau ide yang bersifat abstrak, memerlukan usaha tekun agar dapat dipahami dan dimengerti oleh siswa yang sedang mempelajarinya. Antara konsep “ethno” dan “matematika” diharapkan mampu menjembatni siswa untuk memahami materi matematika itu sendiri.
Ada dua istilah yang dapat dipadankan dengan kedua konsep tersebut, yaitu konsep stalagtif dan stalagmit. Stalagtif adalah sesuatu yang berada di atas, sementara stalagmit adalah sesuatu yang berada di bawah. Tentunya sangat sulit untuk memadukan atau menciptakan diantara keduanya, terlebih ketika hal tersebut tidak dibiasakan. Pembelajaran matematika selama ini cenderung berada di bagian stalagtif. Bahkan para pemikir matematika cenderung berloma-lomba menjadi stalagmit pada stalagtif. Sehingga kurang memperhatikan apa yang barada di akar rumput atau kondisi empirik siswa. Untuk itu, kendala ataupun kesan negatif pada matematika masih saja terdengar sampai saat ini meskipun berbagai pendekatan telah dilakukan, fatalnya pendidikan matematika hanya cenderung mendukung perkembangan kognitif siswa saja, tanpa memahmai kondisi sekitar dan kecocokan konsep matematika yang dipelajari dengan kondisi sekitarnya.
Konsep ethno menjadi penting karena disitulah siswa kita berdomisili. Matematika sebagai pendatang baru haruslah mau menjadi bagian dan membaur dengan hal tersebut. Untuk itu konsep ethnomatematika menjadi penting, karena berusa memadukan dan mendekatkan matematika dengan apa yang beada di sekitar siswa, meskipun secara sepintas terkesan sama dengan contekstual learning. Untuk memahami perbedaannya maka dapat dipandang dalam dua cara, yaitu secara semantik (substansi) dan sintaks (urutan). Secara substansi contextual learning belum tentu merupakan ethnomathematics, akan tetapi secara sintaks ethnomatematika” dapat juga diapahami sebagai contextual learning. Artinya contextual learning merupakan pendekatan dengan urutan kegiatan yang sudah baku, yang belum tentu mencakup substansi yang berda pada akar rumput. Akan tetapi ethnomatematika” bisa dipahami sebagai pendekan kontekstual dalam menggali dan memadukan substansi yang berada pada akar rumput siswa.
Untuk itu, dalam melakukan kajian ethnomatematika”, diperlukan pemahaman tentang teori kognitif, konstruktivis, dan realistik. Agar seluruh hal yang terkait dengan keseharian siswa serta relevan dengan konsep mathematika dapat dijadikan sebagai media dalam mempelajari matematika itu sendiri, serta menggali nilai-nilai yang terkandung dalam produk dan sistem budaya yang berada di sekitar siswa, dengan harapan apa yang dipelajri oleh siswa menjadi lebih mudah untuk dipahami karena akrab dengan kesehariannya, serta cara mempelajarinya juga menjadi lebih dapat di terima karena sesuai dengan sistem yang berlaku di masyarakat sekitar dan sudah menjadi jati diri siswa itu sendiri.

Rabu, 15 April 2015

ELEGI MEMECAH BATU



ELEGI MEMECAH BATU

Batu : Siapakah engkau wahai si pembawa martil

Pembawa martil : Akulah orang yang bermaksud memukulmu sampai hancur, dan jika bias sampai engkau tidak seperti batu lagi.

Batu: Hahahaha…sungguh nekat kamu wahai sang pembawa martil, ketahuilah akulah batu yang paling keras diantara batu yang lainnya.

Pembawa martil: Jangan banyak bicara wahai batu, pokoknya apapun yang terjadi aku akan menghancurkanmu.

Batu: Coba saja, tapi kamu tidak akan bias menghancurkanku, jika kamu hanya membawa martil saja. Maka akan hancur martilmu dulu ketimbang saya.

Pembawa Martil: Jangan salah, aku tidak hanya membawa martil, tunggu , sebentar lagi akan dating temanku yang membawa Air Keras. Jika disaram ke kamu, maka akan melapuklah dirimu.

Batu: Hhahahha… Mana, suruh temanmu cepatan…saya ingin mengetahui kekuatan apa yang dimiliki oleh air keras itu

Pembawa Air keras: Ada apa ini..keliatannya kalian sedang berdebat?

Pembawa martil: ya. Si batu itu telah berkata angkuh kepadaku, mengatakan dirinya tidak bias dihancurkan hanya dengan martil yang saya bawa ini, makanya aku katakana bahwa aka nada temanku dating membawa air keras yang akan membuatnya lapuk dan mudah untuk saya hancurkan.

Pembawa Air keras: Oooo begitu, Sungguh sombong kau wahai si batu, rasakan, sebentar lagi akun ku siram kamu dengan air keras, maka akan terkelupaslah seluruh kulitmu.

Batu: Hahahahah..ternyata hanya kulit luarku saja yang bias di buat lapuk. Kalau itu sih, saya terbiasa kepanasan tiap hari di tengah gurun ini…

Pembawa Air keras: wahai si batu, air keras ini lebih panas dari sinar matahari yang engkau rasakan setiap hari. Air keras ini akan membuat dirimu retak dan rapuh, sehingga mudah untuk dihancurkan oleh temanku dengan martilnya.

Batu: Coba aja kalau bisa…

Dalam perdebatannya, lewatlah seorang Orang tua dan menghampiri kedua orang tersebut.

Orang Tua: Wahai si pembawa martil dan pembawa air, apa gerangan yang sedang kalian rencanakan di dekat batu besar ini, kelihatannya teduh sekali bernaung di dekat batu besar ini.

Pembawa martil: wahai orang tua, kami berdua bermaksud menghancurkan batu besar ini, agar dia bisa lebih bermanfaat untuk dibuat menjadi pondasi rumah yang akan kami bangun atau orang lain bangun.

Pembawa Air Keras: Tapi batu itu telah berlaku sombong pada kami berdua dan mengatakan dirinya tidak bisa dihancurkan oleh alat yang kami bawa ini.

Orang Tua: begitu masalahnya….ooo… baguslah…(dengan nada sinis)

Pembawa Martil: kenapa kamu terlihat meragukan kami juga wahai orang tua?

Orang Tua: Tidak demikian, rencana kalian bagus dan mudahan tercapai..

Pembawa Air Keras: Memangnya kenapa, kayaknya orang tua meragukan akan keberhasilan kami juga ya, asal orang tua tau saja, bahwa air keras ini bisa membuat lebur apa saja, termasuk engkau juga wahai orang tua, jika ku teteskan air ini di kulitmu, maka kulitmu akan terbakar.

Orang Tua: He..he..he..

Pembawa martil: ternyata engkau semakin mengejek kami wahai orang tua, pergilah, jangan sampai kami betul-betul marah nanti…

Batu: Ha..ha..ha…kalau masih berdebat seperti ini dan terlalu cepat emosi, saya tambah yakin kalau saya masih kuat dan tidak bisa kalian hancurkan (tiba-tiba batu menyela pembicaraan ketiga orang dihadapannya)

Pembawa martil:Diamkau wahai batu..

Orang Tua: Jangan terlalu cepat emosi, batu itu benar, sebab bukan kalian yang pertama kali mencoba menghancurkan batu ini, tapi sudah banyak orang sebelum kalian dan tidak berhasil.
Mendengar perkataan si Orang Tua, kedua orang tersebut mulai kelihatan heran dan kenapa orang tua itu mengatakan demikian.

Pembawa Air Keras: Betulkah itu wahai orang tua. Kenap belum ada yang berhasil memecahkan batu ini.

Orang Tua: Asalkan kalian berdua tau, penyebab kegagalan orang-orang sebelum kalian sama dengan penyebab yang akan membuat kalian gagal juga nanti.

Pembawa martil: Kenapa engkau yakin sekali kalau kami akan gagal wahai orang tua, padahal kami belum melakukannya dan engkau juga belum melihat hasilnya.

Orang Tua: Kalian pasti akan gagal, karena kalian membawa alat yang sangat ampuh menurut kalian saja dan alat kalian juga masih alat yang mengandalkan tenaga, sebelum batu ini kalian buat hancur, kalian akan kehabisan tenaga terlebih dahulu, begitu juga dengan air keras yang kalian bawa, karena sangat emosinya kalian nanti untuk dapat menghancurkan batu ini, bisa jadi air keras ini akan terpercik ke kulit kalian sendiri dan akan membuat kalian tidak akan bisa melanjutkan pekerjaan kalian lagi.

Pembawa martil: Ooooo begitu… lalu sebaiknya kami menggunakan apa menghancurkan batu ini…?

Pembawa Air keras: ya wahai orang tua, kami ingin mengetahuinya, karena kami juga tidak mau terluka sendiri dengan air keras ini….

Batu: Wahai orang tua, aku tau, kalau engkau tahu bagaimana caranya menghancurkan saya, tapi say mohon, janganlah engkau kasi tau kedua orang ini, karena saya g mau hancur.

Orang Tua: Maaf wahai batu, kalau aku tidak member tahu orang-orang sebelum mereka, bagaimana menghancurkanmu, bukan berarti aku tidak mau melihat mereka berhasil, akan tetapi mereka tidak pernah mau bertanya dan selalu angkuh dan membanggakan peralatan yang mereka bawa sendiri. Tapi karena kedua orang ini bertanya padaku, dan ternyata mereka memiliki tujuan yang bagus, maka aku akan member tahu mereka bagaimana memecahkan mu, karena engkau juga akan lebih bermanfaat jika dugunakan untuk membuat fondasi rumah, ketimbang hanya diam di tengah gurun ini, karena disiang hari, orang lebih memilih bernaung di bawah pohon dan rumah yang ada diujung sana ketimbang di dekatmu…

Batu: tapi jika aku nanti hancur, maka akan hilanglah keperkasaanku dan kekuatanku..

Orang tua: saya tidak menyalahkanmu karena kamu adalah batu, tapi keangkuhan dan kekuatanmu akan lebih bermakna jika itu bisa digunakan oleh orang untu membuat bangunan yang bermanfaat untu orang banyak. Dan orang juga tidak akan pernah melupakan kamu, orang-orang akan selalu bercerita, bahwa mereka punya bangunan yang kokoh dan megah, karena menggunakan batu yang bagus sebagai pondasinya.

Batu: JIka demikian, maka aku rela untuk dihancurkan…

Pembawa martil: terimakasih orang tua, kamu telah membuat batu itu tidak sombong lagi dan bersedia untuk dihancurkan, akan tetapi, kami masih penasaran, alat apa yang harus kami gunakan biar dapat menghancurkan batu itu…

Orang Tua: Kalau kalian mau menghancurkan batu itu, gunakanlah alat yang tidak akan membahayakan diri kalian sendiri dan yang sangat menguras tenaga, karena batu itu sangat besar, tapi gunakanlah alat yang membuat kalian mudah untuk memecahkannya tanpa membahayakan diri sendiri dan menguras tenaga.

Pembawa Air keras: Alat seperti apakah itu wahai orang tua, kami sudah tidak sabar ingin mengetahuinya, biar kami cepat menghancurkan batu itu…

Orang Tua: mendengar perkataanmu si pembawa air keras. Itulah penyebab paling besar pengaruhnya sama orang-orang sebelum kamu tidak berhasil, mereka semua tidak sabar dan menginkan segera tercapai tujuannya.

Pembawa martil: Maafkan teman saya wahai orang tua, sekiranya boleh kami tau, apakah alat yang engkau maksud.

Orang Tua: Carilah disekelilingmu, diluar sana banyak sekali tersedia alat yang lebih canggih meskipun sederhana, carilah sehingga kalian bisa lebih mudah dan tidak perlu membahyakan diri dan menguras tenaga untuk memecahkan batu itu..(kemudian orang tua itu pamit dan meninggalkan kedua orang tersebut.

Setelah itu, kedua orang tersebut berdikusi dan mengiyakan pendapat orang tua tadi, akhirnya kedua orang tersebut sepakat mengurungkan niatnya untuk memecahkan batu itu, tapi akan segera balik setelah menemukan alat yang dimaksud oleh orang tua tadi. Trims

Senin, 13 April 2015

RESUME TEORI BELAJAR



RESUME TEORI BELAJAR OLEH ALKUSAERI
Berdasarkan hasil bacaan yang bersumber dari beberapa refrensi teks dan elektronik (blog, web, Wikipedia, Wordpress) disusun resume teori belajar sementara, oleh karena itu masih dibutuhkan penyempurnaan dengan mencari sumber-sumber yang lebih relevan dan tepat. Hal tersebut akan dipenuhi juga melalui proses perkuliahan dengan Prof. Dr. Marsigit, MA, diskusi dengan teman kelas, serta masukan dari teman-teman yang sempat membaca tulisan ini. Trimakasih.
Berikut akan dipaparkan beberapa teori belajar berdasarkan peta konsep yang menjelaskan hubungan teori-teori dimaksud. Semoga bermanfaat…..Amin.






 
1.      Behaviorism Theory
Teori belajar behaviorisme menitik beratkan pada hasil belajar yang dapat di ukur dan diamatai. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tokoh-tokoh penting yang menggagas teori belajar behaviorism, antara lain :
Thorndike: Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut sambungan saraf antara stimuli (S) dan respon (R). Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat sertamelalui percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu (Slavin, 2000).
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L. Thorndike(1906) sedang mempelajari kucing dalam kotak. Thorndike menempatkan kucing yang lapar dalam sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak, kucing itu harus mengetahui cara membuka palang di dalam kotak tersebut. Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengaja menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan ke kotak, dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.
Hukum efek (law effect) Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang di ikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Pertanyaan utama untuk Thorndike adalah bagaimana respons stimulus yang benar (S-R) ini menguat dan akhirnya mengalahkan respons stimulus yang tidak benar. Menurut Thorndike, asosiasi S-R yang tepat akan diperkuat, dan asosiasi yang tidak tepat akan melemah, karena konsekuensi dari tindakan organisme. Pandangan Thorndike disebut teori S-R karena perilaku organisme itu dilakukan sebagai akibat dari hubungan antara stimulus dan respons. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, pendekatan Skinner memperluas ide dasar Thorndike ini.
Watson : Mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Clark Hull : Menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Edwin Guthrie : Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Skinner: Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1.      Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2.      Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3.      Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
     Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
2.       Social Cognitive Theory
Teori Berpikir Sosial (Social Learning Theory) Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandur menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya. Hipotesis yang dikemukakan Bandura bahwa tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking), harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku.
Teori kognitif sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Kecuali untuk sejumlah reflex dasar, manusia tidak diperlengkapi dengan perilaku yang dibawa sejak lahir,  dan oleh karenanya perilaku itu harus dipelajarinya. Akan tetapi, faktor-faktor biologis membatasi proses belajarnya. Misalnya, gen dan hormon mempengaruhi perkembangan fisik yang pada gilirannya mempengaruhi potensialitas perilaku. Di samping itu, seperti dalam hal bicara, manusia memiliki bakat alami dasar yang dapat dikembangkan dengan membentuk respon-respon baru melalui belajar. Sering kali pengaruh pengalaman dan pengaruh fisiologis tidak dapat dipisahkan dengan mudah dan  oleh karenanya akan lebih bermanfaat bila kita menganalisis faktor-faktor penentu perilaku daripada mencoba mengkategorikan yang mana proporsi perilaku yang merupakan hasil belajar dan yang mana yang herediter.
Pikiran (thoughts) merupakan proses psikoneural. Akan tetapi, adalah penting untuk membedakan antara hukum psikologi dan hukum biologi. Dengan memfokuskan perhatian pada pengetahuan tentang psikologi kita dapat mengajukan pertanyaan seperti bagaimana cara terbaik untuk menciptakan belief system dan kompetensi personal. Pemahaman seperti ini tidak dapat diperoleh hanya dengan mempelajari mekanisme neurofisik yang mendasari kegiatan tersebut. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana orang mengaktifkan proses otak yang berada di luar struktur kognitif yang ada untuk menghasilkan peristiwa kognitif baru dan yang menandai  kegiatan lembaga individu.
Berikut ini adalah lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia.
1.         Symbolising capability. Manusia memiliki kemampuan untuk mentransformasikan pengalaman-pengalamannya menjadi simbol-simbol dan kemampuan untuk memproses simbol-simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide-ide yang melampaui pengalaman penginderaannya. Kenyataan bahwa manusia memilikikemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti bahwa mereka selalu rasional. Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk, tergantung pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung pada kelengkapan informasi yang dimilikinya.
2.         Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran antisipatifnya bukan oleh reaksinya terhadap lingkungannya. Orang mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Pemikiran ke depan ini bukan akumulasi konsekuensi-kosekuensi terdahulu, melainkan hasil pemikiran.
3.         Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan melalui pengalaman langsung, melainkan hasil pengamatannya terhadap perilaku orang lain beserta konsekuensinya. Belajar melalui  pengamatan ini memperpendek waktu yang dibutuhkan manusia untuk belajar berbagai keterampilan. Keterampilan tertentu, seperti keterampilan berbahasa, demikian kompleksnya sehingga tidak mungkin dapat dipelajari tanpa penggunaan modeling.
4.         Self-regulatory capability. Manusia mengembangkan standar internal yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri ini mempengaruhi perilaku selanjutnya.
5.         Self-reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh manusia. Orang dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai. Jenis pemikiran yang paling sentral dan paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas.
Human agency adalah kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Human agency dikonseptualisasikan dalam tiga cara utama:
1.      Autonomous agency, di mana orang merupakan agen yang sepenuhnya mandiri bagi tindakannya sendiri;
2.      Mechanical agency, di mana agency tergantung pada faktor lingkungan; dan
3.      Emergent interactive agency, yang merupakan model bagi teori kognitif sosial. Emergent interactive agency didasarkan pada model timbal-balik tiga arah (triadic reciprocality).
Reciprocal artinya hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu: perilaku (B), faktor kognitif dan personal (P), dan pengaruh lingkungan (E), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya dan tidak terjadi secara berbarengan. Perilaku manusia merupakan hasil interaksi timbal-balik antara peristiwa eksternal dan faktor-faktor personal seperti kemampuan genetiknya, kompetensi yang dipelajarinya, pikiran reflektif dan inisiatifnya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan pengaruhnya terhadap dirinya (self-influence) dan menentukan tindakannya sendiri.
Salah satu cara belajar, yaitu belajar melalui pengamatan (observational learning). Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Fungsi observational learning adalah sebagai berikut.
1.      Modelling dapat mengajari observer keterampilan dan aturan-aturan berperilaku.
2.      Modelling dapat menghambat ataupun memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang.
3.      Perilaku model dapat berfungsi sebagai stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya.
4.      Modeling dapat merangsang timbulnya emosi. Orang dapat berpersepsi dan berperilaku secara berbeda dalam keadaan emosi tinggi.
5.      Symbolic modeling dapat membentuk citra orang tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang dilakukannya.
Observational Learning  Belajar mencakup pemrosesan informasi. Kekuatan  modelling terletak pada kemampuannya untuk mempengaruhi proses tersebut. Observational learning memerlukan empat macam proses utama:
1.      Proses memperhatikan (attentional processes). Jika orang belajar melalui modelling, maka mereka harus  memperhatikan dan mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan  oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya, dan reinforcementmasa lalunya.
2.      Proses retensi (retention processes). Agar efektif, modelling harus disimpan dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingat adalah dengan membayangkan perilaku model atau dengan mempraktekkannya. Keterampilan dan struktur kognitif pengamat dapat memperkuat retensi. Motivasi untuk belajar juga berperan dalam retensi, meskipun insentif lebih bersifat fasilitatif dari pada keharusan.
3.      Proses produksi. Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu  diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari perbuatannya. Modelling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat. Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas fisiknya, apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen-komponen respon yang diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif bila mencobakan perilaku baru.
4.      Proses motivasi. Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak, tergantung pada motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut: (a) menghasilkan imbalan eksternal; (b) secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif; dan (c) pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri. Antisipasi terhadap akibat yang positif dan negatif  menentukan aspek-aspek yang mana dari perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat.
Orang dapat belajar keterampilan berpikir dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali proses berpikir  yang tersirat tidak terungkapkan secara memadai oleh tindakan model. Misalnya, seorang model dapat memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat hanya melihat hasil tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan tindakan tersebut. Satu pendekatan untuk mempelajari keterampilan kognitif adalah dengan meminta model menuturkan apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan kegiatan untuk mengatasi masalahnya.
Keuntungan menggabungkan Modelling verbal dengan modelling non-verbal adalah kemampuan modelling non-verbal untuk memperoleh dan mempertahankan perhatian, dan keefektifan perilaku fisik untuk memberikan makna tambahan pada proses kognitif. Keterampilan kognitif pengamat akan semakin meningkat bila model mendemonstrasikan tindakan dan proses berpikirnya sekaligus, bukan hanya mendemonstrasikan tindakannya saja.
Pandangan kognitif sosial adalah bahwa belajar melalui pengamatan tidak selalu memerlukan imbalan ikstrinsik. Belajar seperti ini terjadi melalui pemrosesan kognitif  pada saat dan sebelum pengamat melakukan suatu respon. Dengan model operant conditioning dari Skinner, yang hampir sama dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil apabila respon yang sesuai dengan tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak sesuai dihukum atau tidak diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi stimulus bagi respon yang cocok. Akan tetapi, penjelasan Skinner tersebut mengandung beberapa kekurangan. Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku model dalam setting yang sama dengan ketika perilaku itu dicontohkan. Baik pengamat maupun model mungkin tidak akan memperoleh reinforcement. Perilaku model mungkin terjadi lagi beberapa hari atau bahkan beberapa minggu kemudian. Maka model operant tidak dapat menjelaskan bagaimana struktur respon baru itu dipelajari melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam observational learningadalah sebelum, bukan setelah modelling. Misalnya, perhatian pengamat dapat meningkat dengan antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih jauh, imbalan yang diantisipasi itu dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan dan berlatih menggunakan kegiatan model. Insentif itu lebih bersifat asilitatif daripada keharusan.
3.       Cognitive Information Processing
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973). Informasi baru dapat merupaka penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat dersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tig sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuanny secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik. Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek,  memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen.
4.       Meaningful Learning Theory
Ausubel, Mengajukan teori pendekatan bermakna. Pendekatan bermakna memiliki kemampuan dalam memperkuat struktur kognitif subyek belajar. Tujuan dari pendekatan ini untuk mengembangkan dan meningkatkan efisiensi kemampuan mengolah informasi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu subyek belajar dalam mengembangkan kemampuan memahami informasi agar bermakna bagi dirinya. Dikatakan bermakna apabila subyek belajar mampu menghubungkan antara informasi yang baru diterima dari mengikuti pelajaran dengan pengetahuan dan konsep yang sudah dimiliki.
Menurut Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan terutama melalui penerimaan bukannya melalui penemuan. Konsep, prinsip, dan ide atau gagasan dipresentasikan  dan diterima oleh seseorang, bukan melalui penemuan. Ausubel menekankan bahwa apa yang diketahui sebagai meaningful learning, informasi verbal, ide-ide, dan hubungan diantara ide-ide, terjadi secara bersamaan. Rote mamorization tidak dianggap memiliki makna, karena bahan yang dipelajari melalui belajar cepat ini tidak berkaitan dengan pengetahuan yang sudah ada. Sayangnya, walaupun belajar secara cepat ini tidak efektif  banyak pelajaran masih nampak sedikit mendasarkan padanya. Ausubel juga mengajukan suatu model pengajaran ekspositori (expository teaching) untuk mendorong pembelajaran  yang bermakna, bukan melalui belajar cepat. Exposition artinya menjelaskan, atau menyajikan fakta-fakta dan ide-ide.
Ausubel menggunakan istilah advanced organizers artinya kesadaran siswa terhadap struktur pengetahuan yang sedang dimilikinya sehingga informasi baru dapat dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya. Advanced organizers diartikan juga sebagai kerangka isi pengait. Saat ini, pengertian advanced organizers mungkin dianggap sebagai alat yang dapat dipakai untuk memberikan suatu bahan pendahuluan (preview) terhadap bahan yang dipelajari agar dapat membantu siswa mengorganisasi, mengingat, dan mengkaitkan dengan pengetahuan sebelumnya terhadap pengetahuan baru yang akan dipelajari.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa dapat menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningfull learning) dan belajar menghafal (rote learning). Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna. Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Lebih lanjut Ausubel mengemukakan, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah dipelajari. Dengan model cooperative learning materi yang dipelajarinya tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat saja, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi proses belajar hafalan. Diharapkan model cooperative learning akan dapat menghilangkan kejenuhan dan kebosanan yang dirasa siswa di kelas karena selama ini hanya mendengarkan materi dari guru saja. Penekanan dan model cooperative learning sendiri adalah selain siswa mendapat bimbingan langsung dari guru, mereka juga diberi kebebasan untuk memecahkan masalah lewat pengetahuan yang mereka dapatkan sendiri.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu . Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang tepat dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimilikinya. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
5.       Developmental Approach
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory). Pendapat Piaget (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif dari Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai dari anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget diturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ) atau kecerdasan sama dengan sistem kehidupan lainnya yang memiliki proses adaptasi.
Ada tiga perbedaan cara berpikir yang merupakan prasyarat perkembangan operasi formal, yaitu : gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi nyata anak-anak dewasa. Ada empat factor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu : a) lingkungan fisik, b) kematangan, c) pengaruh sosial, d) proses pengendalian diri (equilibration) Dari beberapa teori belajar yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa belajar dipengaruhi oleh perkembangan tingkah laku (behavior). Pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungan. Proses adaptasi berlangsung secara alami dalam pikiran pembelajar mulai dari anak-anak sampai dewasa. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif terutama adalah lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial, dan proses pengendalian diri (equilibration).
a.    Fokus perhatiannya ditunjukkan kepada seluruh siswa, seluruh tingkat umur, dan seluruh aspek pertumbuhan siswa.
b.    Development-Oriented membimbing siswa dalam proses perkembangannya dan dalam total educative process.
c.    Memusatkan diri kepada anak-anak yang normal dan kepada usaha-usaha penciptaan suasana belajar yang efektif, sehat dan segar.
d.   Pembimbing tidak lagi bertanggung jawab atas testing program dan pengadministrasian data. JIka ia menyelenggarakan tes, bukan untuk kepentingan individual tetapi untuk keseluruhan siswa yang lebih luas.  Kegiatan tes individual ditangani oleh psikolog atau oleh stafnya.
e.    Pembimbing juga bukan lagi record keeper. Kegiatan tersebut ditangani stafnya, yakni untuk menjaga agar pembimbing tidak terlibat dalam hal-hal yang rutin, supaya dapat memikirkan hal-hal lain yang lebih menyeluruh dan lebih fundamental.
f.     Dalam kegiatan konseling, lebih banyak digunakan group counseling dengan sasaran supaya siswa-siswa secara bersama-sama dapat saling meningkatkan self acceptance, self direction, dan self development.
g.    Hubungan dengan guru, guru merupakan penanggungjawab utama terhadap siswa dalam kelasnya, sedang pembimbing sifatnya semata-mata hanya membantu. Bila terdapat kesulitan, guru sendiri yang menghadapi siswa. Bila dipandang perlu, guru dapat berkonsultasi pada pembimbing, atau jika perlu pembimbing berhadapan dengan siswa, biasanya dilakukan bersama guru.
h.    Guru memiliki record tentang siswa-siswanya, paling tidak dengan anecdotal record. Guru mengumpulkan data tentang siswa dan menyimpannya.
i.      Pertemuan dengan orang tua siswa tidak semata-mata membahas anak krisis, tetapi terutama untuk mendiskusikan peningkatan situasi belajar, hubungan saling membantu antara sekolah dengan rumah, antara sekolah dengan masyarakat, dan sebagainya.
6.       Social Formation Theory
Istilah daerah perkembangan terdekat Vygotsky atau Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan konsep yang menarik perhatian dan memberi hubungan secara luas terhadap pikiran Vygotsky. Mind In Society mendefinisikan ZPD sebagai suatu jarak antara level perkembangan nyata yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara bebas dan level pengembangan potensial yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah atas bimbingan orang dewasa atau dalam kerjasama dengan beberapa teman sebaya yang lebih mampu.
Bahasa yang digunakan Vygotsky di tahun 1930-an menandakan pemikiran beliau yang progresif. Ketika ia membandingkan berbagi definisi dari ZPD dengan para rekan kerja dan alumni, mereka sering berkomentar bahwa gagasan dan bahasanya nampak seperti pada jaman (untuk tahun 1990-an) dan hampir sama dengan National Council of Teachers of Mathematics Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics (1989) and the Professional Standards for Teaching Mathematics (1991).
ZPD merupakan inti sari dari pemikiran Vygotski. Dalam pendahuluan The Collected Works of LS. Vygotsky (1987), Brunner mendiskusikan tentang ZPD sebagai berikut. Ide dan ZPD difokuskan pada perhatian yang diperankan dalarn suatu dialog antara guru yang lebih ahli dengan siswa yang kurang ahli. Suatu konsep yang dijelaskan secara detail dalam dialog, pembelajar mampu merefleksikannya dan menggunakan perbedaan serta hubungannya untuk merumuskan kembali dalam pikirannya.
Guru pada umumnya diterima sebaga model peran yang akan mempengaruhi perkembangan siswa. Hal ini bukanlah merupakan suatu ide yang baru. Karena pada tahun 1930-an Vygotsky mempunyai perhatian besar pada pengembangan kerja siswa dengan orang dewasa dan/atau teman sebayanya. Dalam masa itu walaupun pembelajar belum mampu memecahkan masalah-masalah secara bebas, namun sudah dapat menyelesaikannya dengan bantuan orang lain. Vygotsky menyatakan bahwa semua proses psikologi yang tinggi (higher psychological) berasal dari proses sosial, saling memberi antara orang, khususnya antara anak dengan orang dewasa (Brown, 1965).
Selanjutnya dalam proses pematangan guru dapat menfasilitasi siswa mempertemukan ZPD mereka dengan cara menyiapkan pengalaman belajar bermakna. Orang dewasa mungkin membentuk pengalaman anak-anak dan membantunya berpikir secara mendalam. Brown (1965) percaya bahwa interaksi anak dengan orang dewasa yang menuntut aktivitas pemecahan masalah, dan struktur lingkungan belajar, secara berangsur-angsur akan dapat mengadaptasi kegiatannya secara terstruktur. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa juga memiliki interaksi yang signifikan dengan materi; Misal balok-balok yang diintegrasikan dalam memahami konsep geometri. Interaksi ini dapat juga menfasilitasi siswa terhadap ZPD-nya untuk mencapai pengertian yang lebih baik.
Ketika Vygotsky mengembangkan konstruksinya tentang ZPD pada tahun 1930-an. Dia secara khusus mengaplikasikannya pada pengembangan kognitif anak-anak, yaitu: anak yang berurnur 8-12 atau antara 8-9 tahun. Nampaknya batas usia ini tidak mengalami kesulitan sebagaimana yang dikemukakan Vygotsky. Dalam Taylor (1991) Rachlin (1986) telah menggunakan konstruksi tersebut dalam penelitian dengan siswa-siswa SMA. Thornton (1989) mengaplikasikannya pada siswa SD, dan yang lainnya mengaplikasikannya pada pengembangan orang dewasa (Wertsch, 1985). Dengan demikian konstruksi ZPD dapat diaplikasikan terhadap pengembangan anak-anak dan orang dewasa.
 Saat model dikaitkan dengan konstruksi psikologi Vygotsky khususnya ZPD, ternyata model tersebut juga dipengaruhi oleh teori perkembangan Bandura (1986), Gardner (1983), Bruner (1960), dan Papaert (1920). Pengaruh masing-masing perkembangan tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut: Pertama, Bandura mengemukakan suatu interaksi yang kontinu antara faktor pribadi, faktor lingkungan dan tingkah laku Resiprocal Determinism. Modelnya memandang tingkah laku sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan, dimana Taylor memandang tingkah laku (tindakan) sebagai suatu proses interaksi dengan seseorang dan linkungan. Dua teori membagi pandangan sosio-kultural bahwa sikap dibangun dari interaksi kompleks antara seseorang, lingkungannya dan tindakannya.
Kedua, Saya percaya teori model pelengkap Gardner (1983) tentang intelegensi ganda. Interaksi antara intelegensi logika matematis Gardner, intelegensi interpersonal dan intelegensi intrapersonal yang mungkin mirip dengan interaksi antara pikiran matematis seseorang, tindakan, dan perasaan (sikap matematika). Level intelegensi yang dikembang­kan oleh Gardner, khususnya intelegensi interpersonal dan intelegensi intrapersonal, mungkin dihubungkan dengan teori Vygotsy yang menekankan pada fungsi mental yang lebih tinggi yang bergerak di atara dua permukaan (interpsikologi dan intrapsikolgi). Vygotsky percaya bahwa sekolah diperhatikan dengan kedua permukaan fungsi mental ini dan bahwa ini penting bagi pelajar untuk memahaminya kemudian mentransformasikan fenomena sosial ke dalam fenomena psikologi.
Ketiga, pengenalan Bruner (1960) terhadap pentingnya proses atas suatu hasil sejalan dengan teori Vygotsky. Ini telah mempengaruhi kepercayaan Taylor bahwa teori Bruner melengkapi pandangan sikap matematika yang dikemukakan dalam artikel ini. Penekanan pada proses digambarkan dalam model perkembangan individu. Keempat, pandangan Papert (1980) tentang matematika sebagai budaya kongkruen dengan teori sosio-kultural Vygotsky. Papert memperhatikan dengan teori perkembangan pikiran, khususnya bagaimana cara gerakan intelektual dan gerakan budaya mendefinisi­kan dirinya sendiri dan tumbuh. Papert percaya bahwa banyak jika tidak semuanya, anak-anak yang tumbuh dengan suatu kecintaan dan bakat matematika memiliki perasaan ini, paling tidak menunjukkan bahwa dari mereka memperoleli kuman budaya matema­tika dari orang-orang dewasa, yang seseorang mungkin akan mengatakan: mengetahui bagaimana berbicara matematika. Lebih jauh, Papert mengusulkan bahwa komputer mungkin melayani sebagai suatu kekuatan untuk mendobrak garis pemisah antara dua budaya (kemanusiaan dan ilmu pengetahuan).
Di dalam pendidikan matematika, Fennema dan Reyes telah mencurahkan banyak perhatian terhadap kajian tentang ranah afektif dan peran yang dimainkan di dalam pela­jaran dan ketekunan seseorang dengan matematika. Mereka percaya bahwa suatu sikap matematika yang positif akan dihubungkan dengan harga diri seseorang dan kelanjutan kuliah matematikanya. Suatu sikap siswa berperan terhadap citra mereka sendiri sebagai seorang pelajar di dalam kelas. Karya kedua orang ini tampaknya juga sejalan dengan Vygotsky. Teori yang didiskusikan di atas memberikan kerangka konseptual untuk mendu­kung model. Secara khusus teori-teori ini mendukung (langsung atau hanya menyinggung) ide bahwa sikap seorang siswa dibentuk melalui interaksi dengan orang lain dan ling­kungan.
7.       Representation and Discovery learning
 Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar peneuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
1.       Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2.       Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3.       Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif: a. Bahwa pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya. b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning). c. Pemaknaan berdasarkan hubungan. d. Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model  kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan  hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.  Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.  Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas  bagaimana peserta didik  memperoleh informasi dari lingkungan.  Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
1.      Enactive, dimana seorang peserta didik  belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek, siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan.
2.      Iconic,  dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3.      Symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak, siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem simbol ini samakin dominan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas (Burner, Ausubel, dan gagne), ternyata teori kognitif melibatkan hal-hal mental atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi melalui pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun   melalui proses pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian. 
8.      Constructivist Approach
Menurut Litter (dalam Medsker dan Holdsworth, 2000) konstruktivisme merupakan prespektif baru dalam pendidikan, yang berisi informasi, yang mengatur seseorang dalam memperoleh dan menjawab tantangan teknologi. Konstruktivisme memperbaiki pola dan memiliki efek tidak langsung terhadap pendekatan pembelajaran baru. Karren L Medsker and Kristina M. Holdsworth (2001) menjelaskan : “Knowlegde is constructed in the mind of the learner as a consequence of working through real-word situations.(Pengetahuan dibangun oleh pebelajar sebagai konsekuensi dari situasi nyata yang dilakukannya). Ernest. secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism).
Konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget, bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Proses ini terjadi jika informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi yang baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemata yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Matthews, dalam Paul Suparno,1997). Piaget. semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang. Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Belajar adalah membangun pengetahuan dan belajar adalah “Knowledge dependent”, bahwa pembelajaran menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membentuk pengetahuan baru. Konstruktivistik berisi cara menerima pembelajaran dan menyimpannya dengan prinsip penemuan baru. Pengetahuan diperoleh tidak dengan cara mengulang, bukan dari proses penyatuan, tidak dapat langsung digunakan, tidak dalam korporasi, tetapi proses memperoleh konsep dengan membangun pengetahuan baru (Haris Mudjiman, 2007).
Berbagai konsep konstruktivistik diatas dapat diisimpulkan bahwa penerapan konstruktivistik dapat dilakukan dengan memberikan masalah pada siswa. Pemberian masalah dimaksudkan untuk merangsang siswa agar berpendapat dan berpikir kritis ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta baru. Siswa diperlakukan sebagai pemikir-pemikir, atau dilatih untuk menjadi pemikir, bukan hanya sebagai penerima pasif pengetahuan. Pembelajaran konstruktivistik lebih menekankan kepada peningkatan keterampilan proses belajar, tidak sematamata pada hasil belajar. Untuk mencapai tujuan belajar, strategi yang dijalankan guru adalah menciptakan belajar kolaboratif, yang memungkinkan pembahasan suatu masalah dari berbagai sudut pandang.
Konstruktivistik dilakukan dengan pentahapan atau tingkatan, yaitu :
a)      Observasi. Siswa belajar dengan situasi nyata.
b)      Membangun penafsiran. Siswa membangun penafsiran dari observasi dan argumentasi untuk validitas dari sebuah penafsiran.
c)      Kontekstual. Siswa mengambil sesuatu secara kontekstual dari argumen yang bervariasi.
d)     Masa belajar berpikir. Siswa melalui masa belajar, melaui observasi, penafsiran dan lingkungannya.
e)      Kolaborasi. Siswa berkolaborasi di dalam observasi, interprestasi, dan kontekstual.
f)       Banyak interprestasi, hasil pemikiran dari yang dilihat dari berbagai hal.
g)      Banyak perwujudan. Siswa mentransfer lebih dulu dari beberapa interprestasi.
Menurut pandangan dan teori konstruktivistik, belajar merupakan proses aktif dari si sebjek belajar untuk merekonstruksi makna, entah itu teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar merupakaan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertianya menjadi berkembang. Beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997) yaitu :
a)      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang di lihat, dengar, rasakan dan alami.
b)      Konstruksi makna merupakan proses yang terus menerus.
c)      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
d)     Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkunganya.
e)      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium ) adalah situasi yang baik untuk memacu proses belajar.
f)       Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subjek belajar, konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Dalam konstruktivistik subjek belajar harus mencari sendiri makna dari suatu yang mereka pelajari. Sesuai dengan prinsip tersebut, maka proses mengajar, bukanlah kegiatan transfer pengetahuan dari guru ke subjek belajar, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subjek belajar merekontruksi sendiri pengetahuanya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subjek belajar dalam membentuk pengetahuan dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan justifikasi. Prinsip berpikir lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang benar atas sesuatu. Karena itu pengajar/guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu optimalisasi subjek belajar. John Holt (dalam Melvin. L. Siberman) proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
a)      Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri.
b)      Memberikan contohnya.
c)      Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
d)     Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
e)      Menggunakannya dalam beragam cara.
f)       Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.
g)      Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
9.      Social Approach
Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama (mutual). (D. J. Bearison & B. Dorval.2002:390) Gauvain (2001) menambahkan bahwa keterlibatan dengan  orang lain memberikan kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Ditegaskan pula oleh Johnson & Johnson (2003) bahwa dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Teori konstruktivis sosial Vygotsky relevan untuk pendekatan ini. Menurut Rogoff (1998), model Vygotsky menyatakan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris. Dari Piaget dan Vygotsky ada pergeseran  konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dukungan untuk mencapai tahap atau level berikutnya. Ketika pengetahuan dan kompetensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pemberian dukungan. Sesungguhnya, pembelajaran scaffolding mendorong siswa menjadi pelajar yang mandiri dan mengatur diri sendiri (self-regulating). Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan untuk membantu siswa memperoleh kemajuan sampai mereka mampu mencapai kemandirian. Secara operasional, teknik pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut.
a.       Asesmen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Development (ZPD).
Jabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scaffold. Sajikan tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui  penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan, dan pemberian contoh (modeling). Dorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri. Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.
b.      Pelatihan Kognitif (Cognitive Apprenticeship)
Pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship) berarti hubungan di mana pakar memperluas dan mendukung pemahaman pemula dan menggunakan keahlian kultur
c.       Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai
10.  Technological Approach
Pembelajaran tidak hanya terpaku pada kegiatan yang lebih dari hanya berbicara dan transfer pengetahuan, Pembelajaran yang dimaksudkan adalah perkembangan teknologi dimasa kini dan mendatang murid butuh untuk persiapan dirinya Pemanfaatan teknologi informasi adalah basis dalam pengembangan pembelajaran di dalam kelas, baik dalam pengaturan kelas dengan alat teknologi tersebut (praktek), Guru berkepentingan untuk memilih dan menetukan teknologi yang digunakan terutama kaitannya dengan kepentingan spesifikasi kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh siswa dan hasil yang diharapkan. Teknologi di dalam kelas membantu memperlancar kegiatan belajar yang harus dilalui oleh murid dan memberikan kemudahan bagi guru dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan kepadamuridnya. Oleh karena itu lingkungan kelas harus memberikan dukungan kepada kegiatan belajar yang menyenangkan bagi murid dan guru mengajar dengan nyaman pula.
 Pembelajaran tidak hanya terpaku pada kegiatan yang lebih dari hanya berbicara dan transfer pengetahuan, seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi sekolah mencari bentuk baru dalam proses pembelajaran anak. Pembelajaran yang dimaksudkan adalah perkembangan teknologi dimasa kini dan mendatang. Proses belajar mengajar itu sendiri berintikan kegiatan belajar, dalam arti proses belajar mengajar harus mampu mengupayakan bagaimana siswa belajar. Karena inti dari proses belajar mengajar adalah siswa belajar, maka efektivitasnya sangat bergantung pada efektivitas siswa dalam belajar. Demikian pentingnya kegiatan belajar, sehingga Muhibbin Syah mengemukakan bahwa tanpa belajar tak pernah ada pendidikan, karena bagian terbesar proses pendidikan adalah diarahkan pada tercapainya proses perubahan pada diri manusia.
Efektivitas proses belajar menekankan pada suatu usaha yang akan melahirkan aktivitas belajar yang efektif. Belajar yang efektif pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas belajar yang optimal pada diri siswa. Penerapan strategi belajar mengajar yang menekankan pada keefektifan siswa dalam belajar, akan menyebabkan siswa dapat menggunakan seluruh kemanpuan dasar yang dimilikinya untuk melakukan berbagai kegiatan belajar yang dipersyaratkan.
Pengajaran dari sudut Proses (by Procee), adalah suatu pengajaran dikategorikan efektif jika pengajaran itu berlangsung secara interaktif yang dinamis sehingga memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya melalui kegiatan belajar berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pengajaran dari sudut hasil (by Product), adalah suatu pengajaran dikatakan efektif jika siswa dapat mewujudkan tujuan pengajaran baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Mengkaji kriteria tersebut diatas, menunjukkan bahwa pengajaran yang efektif menitikberatkan pada penciptaan aktivitas belajar siswa seoptimal mungkin. Guru harus selalu berusah menfasilitasi atau menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa dapat belajar secara aktif atas kesadaran dan kemauannya sendiri. Efektifitas pendidikan dan pengajaran sering diukur dengan tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengertian ini mengandung pokok pikiran bahwa pendidikan dan pengajaran haruslah :
a. Bersistem (sistematis), yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran secara sistematis, mulai dari tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan.
b. Sensitif terhadap kebutuhan akan tugas belajar dan kebutuhan pembelajaran
c. Jelas tujuannya dan kerena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya.
d. Bertolak dari kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan yakni; peserta didik, pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Untuk menunjang proses pembelajaran yang efektif maka keberadaan teknologi sangat diperlukan sebagai salah satu pendekatan dalam melakukan pembelajaran. karena dalam prakteknya teknologi mempunyai andil yang besar dalam dunia pembelajaran modern, berkaitan dengan hal diatas prinsip yang melandasi keberadaan teknologi dalam proses pembelajaran sekurang – kurangnya  ada 5 yaitu:
a.  Teknologi dalam pendidikan sebagai usaha memperoleh tingkah laku
b.  Hasil belajar siswa ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan
c.  Pembelajaran merupakan suatu proses
d.  Proses pembelajaran terjadi karena adanya suatu dorongan dan tujuan yang akan dicapai
e.  Pembelajaran merupakan bentuk pengalaman
Dari uraian diatas maka dalam pembelajaran yang baik dalam konteks teknologi pendidikan, media atau alat pembelajaran memiliki nilai manfaat bagi guru maupun murid karena cukup efektif dan efisien dalam upaya pencapaian kompetensi yang diharapkan. Media atau alat-alat pembelajaran tersebut seperti radio, televisi, laptop, internet, LCD dan lainnya baik yang bersifat sederhana maupun modern sangat membantu keefektifan proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis teknologi akan berjalan sangat efektif jika guru menerapkan model pembelajaran berpusat pada siswa (student centered).
Dalam proses / konsep teknologi pendidikan, tugas media atau alat bukan hanya sekedar mengkomunikasikan hubungan antara sumber (pengajar) dan sipenerima (si anak didik), namun lebih dari itu merupakan bagian yang integral dan saling mempunyai keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya, saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Teknologi dalam pengajaran adalah kajian dan praktik untuk membantu proses belajar dan meningkatkan kinerja dengan membuat, menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi yang memadai. Para ahli teknologi pendidikan berpendapat bahwa peranan utama teknologi pendidikan adalah untuk membantu meningkatkan efisiensi yang menyeluruh dalam  proses belajar mengajar.
Penerapan teknologi pendidikan dalam pendidikan hendaknya membuat proses pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya lebih efisien, lebih efektive dan memberikan nilai tambah yang positif. Efektif dan efesien berarti upaya pendidikan yang dilakukan hendaknya dapat mencapai tujuan yang telah digariskan dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu.
Kondisi seperti tersebut di atas dimungkinkan karena teknologi pendidikan memiliki beberapa implikasi dalam pembelajaran diantaranya :
1.  Potensi teknologi pendidikan
Potensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ely dalam Sadiman sebagai beriku:
a.  Meningkatkan produktivitas pendidikan dengan jalan :
1)  Mempercepat laju belajar;
2)  Membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik; dan
3)  Mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar anak. Dengan demikian guru akan lebih banyak berfungsi sebagai manajer pembelajaran.
b.  Memberikan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan:
1)  Mengurangi kontrol guru yang kaku dan konvensional,
2)  Memberikan kesempatan anak belajar secara maksimal,
3)  Dapat melayani karakteristik individu yang berbeda-beda, karena adanya berbagai pilihan sumber belajar.
c.  Memberikan dasar yang ilmiah pada pengajaran dengan jalan:
1)  Perencanaan program pengajaran yang lebih sistimatis; dan
2)  Pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian tentang prilaku manusia.
d.  Lebih memantapkan pengajaran dengan jalan:
1)  Meningkatkan kemampuan guru dengan berbagai media komunikasi, dan
2)  Penyajian data informasi secara lebih kongkrit.
e.  Kemungkinan belajar secara seketika, karena dapat :
1) Mengurangi jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah,
2) Memberikan pengetahuan langsung apa yang ada di luar sekolah dapat dibawa masuk ke kelas.
SUMBER-SUMBER:
1)          Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
2)          Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
3)          Haryanto. 2010. Teori Belajar Behaviorisme. dalam http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme.
4)          Ormrod, Jeanne Ellis . 2012 . Psikologi Pendidikan . United States of America : Pearson Education.
5)          Slavin, Robert E . 2008 . Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktik . Jakarta : PT.Indeks.
6)          Teori belajar Behavioristik. dalam http://id.wikipedia.org
7)          Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publ. Inc.
8)          Parsons, Richard D. & Hinson, Stephanie Lewis & Sardo-Brown, Deborah. 2001. Educational Psychology: A Practicioner-Researcher Model of Teaching. Stamford: Wadsworth Thompson Learning
9)          Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, terj. TriWibowo. Jakarta: Prenada Media Group.
10)      Scaffolding Learning Adapted from Strategic Reading: Guiding Students to Lifelong Literacy by Jeffrey Wilhelm, Tanya Baker, and Julie Dube. http://www.myread.org/scaffolding.htm
11)       Paul Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme. Jakarta : Kanisisus.
12)      Piskurich. George M. 1993. Self-Directed Learning : A Partial Guide to Design, Development and Implementation. Maryland : College Park.
13)      http://en.wikipedia.org/wiki/Taxonomy of Educational Objectives# Cognitive/March 2006
14)      Michael J. 1988. Innovative Teaching Strategies. Arizona : Gorsuch Scarisbrich. Publisher.
15)      http://id.wikipedia.org/wiki/Teori Belajar Piaget. [15-2-2008].
16)      http://tip.psychology.org/ausubel.html. [12 -2- 2008].
17)      Ausubel, D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the critics. Review of Educational Research, 48, 251-257.
18)      Ausubel, D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978). Educational Psychology: A Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.
19)      Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
20)      Roser, R. A and Nicholson, G. L. (1984). Educational Psychology, Principles and Practice. Boston: Little Brown.
21)      Novak, J.D & Growin, D.B. (1985). Learning How to Learn. Cambrige: Cambrige University Press
22)      Asep Suryana,(2005): Makalah Technologies For Restructuredclassrooms, disampaikan dalam lokakarya di Universitas Negeri Yqgya.
23)      Eggen, Paul D & Don Kauchak, (1994), Education Psychology Classroom Connection, New York: McMillan College Publishing Company Inc.
24)      Orastein, Allan C, (1990), Strategies for Effective Teaching, New york: Harper and Row Publisher.Inc.
25)      Nasution. 2005. Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
26)      http://id.Wikipedia.Org/wiki/teknologipendidikan.