RESUME TEORI BELAJAR OLEH ALKUSAERI
Berdasarkan hasil bacaan yang
bersumber dari beberapa refrensi teks dan elektronik (blog, web, Wikipedia,
Wordpress) disusun resume teori belajar sementara, oleh karena itu masih
dibutuhkan penyempurnaan dengan mencari sumber-sumber yang lebih relevan dan
tepat. Hal tersebut akan dipenuhi juga melalui proses perkuliahan dengan Prof. Dr. Marsigit, MA, diskusi
dengan teman kelas, serta masukan dari teman-teman yang sempat membaca tulisan
ini. Trimakasih.
Berikut akan dipaparkan
beberapa teori belajar berdasarkan peta konsep yang menjelaskan hubungan
teori-teori dimaksud. Semoga bermanfaat…..Amin.
1. Behaviorism
Theory
Teori belajar behaviorisme menitik beratkan pada hasil
belajar yang dapat di ukur dan diamatai. Pengulangan dan pelatihan digunakan
supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan
dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang
diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku
yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian
didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak
memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan
sendiri maupun melalui simulasi.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori
belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement
and Punishment; (2) Primary and
Secondary Reinforcement; (3) Schedules
of Reinforcement; (4) Contingency
Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination
of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan
tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara
stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan dari teori ini
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan
tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan
unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya
latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku siswa merupakan
reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tokoh-tokoh penting yang menggagas teori belajar
behaviorism, antara lain :
Thorndike: Belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut
sambungan saraf antara stimuli (S) dan respon (R). Agar tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat sertamelalui percobaan-percobaan (trials)
dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih
dahulu (Slavin, 2000).
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah
eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L. Thorndike(1906)
sedang mempelajari kucing dalam kotak. Thorndike menempatkan kucing yang lapar
dalam sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari
kotak, kucing itu harus mengetahui cara membuka palang di dalam kotak tersebut.
Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia
mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengaja
menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan ke kotak,
dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada
percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai
dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.
Hukum efek (law
effect) Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang di ikuti dengan hasil
positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah.
Pertanyaan utama untuk Thorndike adalah bagaimana respons stimulus yang benar
(S-R) ini menguat dan akhirnya mengalahkan respons stimulus yang tidak benar.
Menurut Thorndike, asosiasi S-R yang tepat akan diperkuat, dan asosiasi yang
tidak tepat akan melemah, karena konsekuensi dari tindakan organisme. Pandangan
Thorndike disebut teori S-R karena perilaku organisme itu dilakukan sebagai
akibat dari hubungan antara stimulus dan respons. Seperti yang akan kita lihat
selanjutnya, pendekatan Skinner memperluas ide dasar Thorndike ini.
Watson : Mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Clark Hull : Menggunakan
variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi
Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive)
dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam
teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Edwin Guthrie :
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti
oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar
terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus
sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya
melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah
perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering
mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat
dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman
yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh
anak (Bell, Gredler, 1991).
Skinner: Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement
dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang
paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak
yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa
untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi
teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori
behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
siswa untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan
penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1.
Pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara.
2.
Dampak psikologis yang buruk mungkin
akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama.
3.
Hukuman yang mendorong si terhukum
untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih
percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum
karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan,
maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan
pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah
yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan
positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respon.
2. Social Cognitive Theory
Teori
Berpikir Sosial (Social Learning Theory) Teori
ini dikembangkan oleh Albert Bandur menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting
yang alami/lingkungan sebenarnya. Hipotesis yang dikemukakan Bandura bahwa
tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar
yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling
berpengaruh (interlocking), harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku.
Teori kognitif
sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan atas proposisi bahwa
baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman
mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Kecuali untuk
sejumlah reflex dasar, manusia tidak diperlengkapi dengan perilaku yang dibawa
sejak lahir, dan oleh karenanya perilaku
itu harus dipelajarinya. Akan tetapi, faktor-faktor biologis membatasi proses
belajarnya. Misalnya, gen dan hormon mempengaruhi perkembangan fisik yang pada
gilirannya mempengaruhi potensialitas perilaku. Di samping itu, seperti dalam
hal bicara, manusia memiliki bakat alami dasar yang dapat dikembangkan dengan
membentuk respon-respon baru melalui belajar. Sering kali pengaruh pengalaman
dan pengaruh fisiologis tidak dapat dipisahkan dengan mudah dan oleh karenanya akan lebih bermanfaat bila
kita menganalisis faktor-faktor penentu perilaku daripada mencoba mengkategorikan
yang mana proporsi perilaku yang merupakan hasil belajar dan yang mana yang
herediter.
Pikiran (thoughts) merupakan proses psikoneural.
Akan tetapi, adalah penting untuk membedakan antara hukum psikologi dan hukum
biologi. Dengan memfokuskan perhatian pada pengetahuan tentang psikologi kita dapat
mengajukan pertanyaan seperti bagaimana cara terbaik untuk menciptakan belief
system dan kompetensi personal. Pemahaman seperti ini tidak dapat diperoleh
hanya dengan mempelajari mekanisme neurofisik yang mendasari kegiatan tersebut.
Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana orang mengaktifkan proses otak yang
berada di luar struktur kognitif yang ada untuk menghasilkan peristiwa kognitif
baru dan yang menandai kegiatan lembaga
individu.
Berikut ini
adalah lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia.
1.
Symbolising capability. Manusia memiliki kemampuan untuk mentransformasikan
pengalaman-pengalamannya menjadi simbol-simbol dan kemampuan untuk memproses
simbol-simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide-ide yang melampaui pengalaman penginderaannya.
Kenyataan bahwa manusia memilikikemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti
bahwa mereka selalu rasional. Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk,
tergantung pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung
pada kelengkapan informasi yang dimilikinya.
2.
Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran
antisipatifnya bukan oleh reaksinya terhadap lingkungannya. Orang
mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Pemikiran
ke depan ini bukan akumulasi konsekuensi-kosekuensi terdahulu, melainkan hasil
pemikiran.
3.
Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan
melalui pengalaman langsung, melainkan hasil pengamatannya terhadap perilaku orang
lain beserta konsekuensinya. Belajar melalui
pengamatan ini memperpendek waktu yang dibutuhkan manusia untuk belajar
berbagai keterampilan. Keterampilan tertentu, seperti keterampilan berbahasa,
demikian kompleksnya sehingga tidak mungkin dapat dipelajari tanpa penggunaan
modeling.
4.
Self-regulatory capability. Manusia mengembangkan standar internal yang
dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk
mengatur diri sendiri ini mempengaruhi perilaku selanjutnya.
5.
Self-reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh
manusia. Orang dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi
apakah proses berpikirnya sudah memadai. Jenis pemikiran yang paling sentral
dan paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang
tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas.
Human agency adalah
kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses
berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Human agency dikonseptualisasikan
dalam tiga cara utama:
1. Autonomous
agency, di mana orang
merupakan agen yang sepenuhnya mandiri bagi tindakannya sendiri;
2.
Mechanical agency, di mana agency tergantung pada faktor lingkungan; dan
3. Emergent
interactive agency, yang
merupakan model bagi teori kognitif sosial. Emergent interactive agency
didasarkan pada model timbal-balik tiga arah (triadic reciprocality).
Reciprocal
artinya hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu: perilaku (B),
faktor kognitif dan personal (P), dan pengaruh lingkungan (E), yang
masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi
faktor-faktor lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya
dan tidak terjadi secara berbarengan. Perilaku manusia merupakan hasil
interaksi timbal-balik antara peristiwa eksternal dan faktor-faktor personal
seperti kemampuan genetiknya, kompetensi yang dipelajarinya, pikiran reflektif
dan inisiatifnya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan
pengaruhnya terhadap dirinya (self-influence)
dan menentukan tindakannya sendiri.
Salah satu cara
belajar, yaitu belajar melalui pengamatan (observational
learning). Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya
dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Fungsi observational learning adalah sebagai berikut.
1. Modelling dapat mengajari observer keterampilan dan
aturan-aturan berperilaku.
2.
Modelling
dapat menghambat ataupun memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang.
3.
Perilaku
model dapat berfungsi sebagai stimulus dan isyarat bagi orang untuk
melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya.
4.
Modeling
dapat merangsang timbulnya emosi. Orang dapat berpersepsi dan berperilaku
secara berbeda dalam keadaan emosi tinggi.
5. Symbolic
modeling dapat membentuk
citra orang tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia
dengan aktivitas yang dilakukannya.
Observational Learning Belajar mencakup
pemrosesan informasi. Kekuatan modelling
terletak pada kemampuannya untuk mempengaruhi proses tersebut.
Observational learning memerlukan empat macam proses utama:
1.
Proses
memperhatikan (attentional processes). Jika orang belajar melalui modelling,
maka mereka harus memperhatikan dan
mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu
ditentukan oleh karakteristik model
maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan
variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya,
kejelasannya, daya tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu.
Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah kapasitas
sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya, dan
reinforcementmasa lalunya.
2.
Proses
retensi (retention processes). Agar
efektif, modelling harus disimpan dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan
dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa
model ke dalam simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang
bermakna bagi pengamat dan menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah
diingat. Cara lain untuk mengingat adalah dengan membayangkan perilaku model
atau dengan mempraktekkannya. Keterampilan dan struktur kognitif pengamat dapat
memperkuat retensi. Motivasi untuk belajar juga berperan dalam retensi,
meskipun insentif lebih bersifat fasilitatif dari pada keharusan.
3.
Proses
produksi. Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin
perlu diterjemahkan ke dalam tindakan
yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang
perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari
perbuatannya. Modelling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan
umpan balik bila pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat.
Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas
fisiknya, apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen-komponen
respon yang diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif
bila mencobakan perilaku baru.
4.
Proses
motivasi. Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak,
tergantung pada motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model
jika perilaku tersebut: (a) menghasilkan imbalan eksternal; (b) secara internal
pengamat memberikan penilaian yang positif; dan (c) pengamat melihat bahwa
perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri. Antisipasi terhadap akibat
yang positif dan negatif menentukan
aspek-aspek yang mana dari perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh
pengamat.
Orang dapat belajar
keterampilan berpikir dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali proses
berpikir yang tersirat tidak
terungkapkan secara memadai oleh tindakan model. Misalnya, seorang model dapat
memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat hanya melihat hasil
tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan tindakan tersebut.
Satu pendekatan untuk mempelajari keterampilan kognitif adalah dengan meminta
model menuturkan apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan kegiatan
untuk mengatasi masalahnya.
Keuntungan
menggabungkan Modelling verbal dengan modelling non-verbal adalah kemampuan
modelling non-verbal untuk memperoleh dan mempertahankan
perhatian, dan keefektifan perilaku fisik untuk memberikan makna tambahan pada
proses kognitif. Keterampilan kognitif pengamat akan semakin meningkat bila
model mendemonstrasikan tindakan dan proses berpikirnya sekaligus, bukan hanya
mendemonstrasikan tindakannya saja.
Pandangan kognitif
sosial adalah bahwa belajar melalui pengamatan tidak selalu memerlukan imbalan
ikstrinsik. Belajar seperti ini terjadi melalui pemrosesan kognitif pada saat dan sebelum pengamat melakukan
suatu respon. Dengan model operant conditioning dari Skinner, yang hampir sama
dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil apabila respon yang
sesuai dengan tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak sesuai
dihukum atau tidak diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi stimulus
bagi respon yang cocok. Akan tetapi, penjelasan Skinner tersebut mengandung
beberapa kekurangan. Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku model dalam
setting yang sama dengan ketika perilaku itu dicontohkan. Baik pengamat maupun
model mungkin tidak akan memperoleh reinforcement. Perilaku model mungkin
terjadi lagi beberapa hari atau bahkan beberapa minggu kemudian. Maka model
operant tidak dapat menjelaskan bagaimana struktur respon baru itu dipelajari
melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam observational learningadalah
sebelum, bukan setelah modelling. Misalnya, perhatian pengamat dapat meningkat
dengan antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih jauh, imbalan
yang diantisipasi itu dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan dan berlatih
menggunakan kegiatan model. Insentif itu lebih bersifat asilitatif daripada
keharusan.
3. Cognitive Information Processing
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses
yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh
informasi baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973). Informasi baru dapat merupaka penghalusan
dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat
dersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan
agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita
memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah
bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tig sistem
keterampilan untuk menyatakan kemampuanny secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of
presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif,
cara ikonik dan cara simbolik. Cara penyajian enaktif ialah
melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang
mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata.
Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui
respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui
bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep,
tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga
menyatakan konsep kesegitigaan. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau
bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih
memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek, memberikan
struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan
alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang
pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan
”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan
jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk
lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada
dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu
dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu
timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar
atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan Hukum Newton
tentang momen.
4. Meaningful Learning Theory
Ausubel,
Mengajukan teori pendekatan bermakna. Pendekatan bermakna memiliki kemampuan
dalam memperkuat struktur kognitif subyek belajar. Tujuan dari pendekatan ini
untuk mengembangkan dan
meningkatkan efisiensi kemampuan mengolah informasi. Dengan demikian diharapkan
dapat membantu subyek belajar dalam mengembangkan kemampuan memahami informasi
agar bermakna bagi dirinya. Dikatakan bermakna apabila subyek belajar mampu
menghubungkan antara informasi yang baru diterima dari mengikuti pelajaran
dengan pengetahuan dan konsep yang sudah dimiliki.
Menurut
Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan terutama melalui penerimaan bukannya
melalui penemuan. Konsep, prinsip, dan ide atau gagasan dipresentasikan
dan diterima oleh seseorang, bukan melalui penemuan. Ausubel menekankan bahwa
apa yang diketahui sebagai meaningful learning, informasi verbal, ide-ide, dan
hubungan diantara ide-ide, terjadi secara bersamaan. Rote mamorization tidak
dianggap memiliki makna, karena bahan yang dipelajari melalui belajar cepat ini
tidak berkaitan dengan pengetahuan yang sudah ada. Sayangnya, walaupun belajar
secara cepat ini tidak efektif banyak pelajaran masih nampak sedikit
mendasarkan padanya. Ausubel juga mengajukan suatu model pengajaran ekspositori
(expository teaching) untuk mendorong pembelajaran yang bermakna, bukan melalui belajar cepat.
Exposition artinya menjelaskan, atau menyajikan fakta-fakta dan ide-ide.
Ausubel
menggunakan istilah advanced organizers
artinya kesadaran siswa terhadap struktur pengetahuan yang sedang dimilikinya
sehingga informasi baru dapat dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya. Advanced organizers diartikan juga
sebagai kerangka isi pengait. Saat ini, pengertian advanced organizers mungkin dianggap sebagai alat yang dapat
dipakai untuk memberikan suatu bahan pendahuluan (preview) terhadap bahan yang dipelajari agar dapat membantu siswa
mengorganisasi, mengingat, dan mengkaitkan dengan pengetahuan sebelumnya
terhadap pengetahuan baru yang akan dipelajari.
Pembelajaran
bermakna terjadi apabila siswa dapat menghubungkan fenomena baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan
keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap
olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam
kegiatan pembelajaran.
Ausubel
mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningfull learning) dan belajar
menghafal (rote learning). Bahan
pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna. Belajar bermakna adalah suatu
proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah
dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Lebih
lanjut Ausubel mengemukakan, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena,
pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah dipelajari. Dengan
model cooperative learning materi yang dipelajarinya tidak hanya sekadar
menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat saja, melainkan ada sesuatu yang dapat
dipraktikkan dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan
masalah. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru
tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi proses belajar hafalan. Diharapkan
model cooperative learning akan dapat
menghilangkan kejenuhan dan kebosanan yang dirasa siswa di kelas karena selama
ini hanya mendengarkan materi dari guru saja. Penekanan dan model cooperative
learning sendiri adalah selain siswa mendapat bimbingan langsung dari guru,
mereka juga diberi kebebasan untuk memecahkan masalah lewat pengetahuan yang
mereka dapatkan sendiri.
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang
studi tertentu dan pada waktu tertentu . Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru
masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka
arti-arti yang tepat dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung
bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan,
dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan
retensi.
Menurut
Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema
yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi
apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat
dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan
pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah
dimilikinya. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam
konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa
dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel
berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui
proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel
beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di
tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam
kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka
kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Menurut Ausubel, lebih efektif
kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan
ilustrasi.
Inti
dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan
hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru
dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur
kognisi siswa.
5. Developmental Approach
Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory).
Pendapat Piaget (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus antara
individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif dari Piaget adalah
perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai dari anak-anak sampai
dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget diturunkan dari analisa
perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ) atau
kecerdasan sama dengan sistem kehidupan lainnya yang memiliki proses adaptasi.
Ada
tiga perbedaan cara berpikir yang merupakan prasyarat perkembangan operasi
formal, yaitu : gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan
operasi nyata anak-anak dewasa. Ada empat factor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif yaitu : a) lingkungan fisik, b) kematangan, c) pengaruh sosial, d)
proses pengendalian diri (equilibration) Dari beberapa teori belajar
yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa belajar dipengaruhi oleh
perkembangan tingkah laku (behavior). Pengetahuan (knowledge)
adalah interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungan. Proses
adaptasi berlangsung secara alami dalam pikiran pembelajar mulai dari anak-anak
sampai dewasa. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif terutama adalah
lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial, dan proses pengendalian diri (equilibration).
a.
Fokus perhatiannya ditunjukkan kepada
seluruh siswa, seluruh tingkat umur, dan seluruh aspek pertumbuhan siswa.
b.
Development-Oriented membimbing
siswa dalam proses perkembangannya dan dalam total educative process.
c.
Memusatkan diri kepada anak-anak yang
normal dan kepada usaha-usaha penciptaan suasana belajar yang efektif, sehat
dan segar.
d.
Pembimbing tidak lagi bertanggung jawab
atas testing program dan pengadministrasian data. JIka ia menyelenggarakan tes,
bukan untuk kepentingan individual tetapi untuk keseluruhan siswa yang lebih
luas. Kegiatan tes individual ditangani oleh psikolog atau oleh stafnya.
e.
Pembimbing juga bukan lagi record keeper. Kegiatan tersebut
ditangani stafnya, yakni untuk menjaga agar pembimbing tidak terlibat dalam
hal-hal yang rutin, supaya dapat memikirkan hal-hal lain yang lebih menyeluruh
dan lebih fundamental.
f.
Dalam kegiatan konseling, lebih banyak
digunakan group counseling dengan sasaran supaya siswa-siswa secara
bersama-sama dapat saling meningkatkan self
acceptance, self direction, dan self development.
g.
Hubungan dengan guru, guru merupakan
penanggungjawab utama terhadap siswa dalam kelasnya, sedang pembimbing sifatnya
semata-mata hanya membantu. Bila terdapat kesulitan, guru sendiri yang
menghadapi siswa. Bila dipandang perlu, guru dapat berkonsultasi pada pembimbing,
atau jika perlu pembimbing berhadapan dengan siswa, biasanya dilakukan bersama
guru.
h.
Guru memiliki record tentang siswa-siswanya, paling tidak dengan anecdotal
record. Guru mengumpulkan data tentang siswa dan menyimpannya.
i.
Pertemuan dengan orang tua siswa tidak
semata-mata membahas anak krisis, tetapi terutama untuk mendiskusikan
peningkatan situasi belajar, hubungan saling membantu antara sekolah dengan
rumah, antara sekolah dengan masyarakat, dan sebagainya.
6. Social Formation Theory
Istilah daerah perkembangan terdekat
Vygotsky atau Zone of Proximal
Development (ZPD) merupakan konsep yang menarik perhatian dan memberi
hubungan secara luas terhadap pikiran Vygotsky. Mind In Society mendefinisikan ZPD sebagai suatu jarak antara level
perkembangan nyata yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara bebas dan
level pengembangan potensial yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah atas
bimbingan orang dewasa atau dalam kerjasama dengan beberapa teman sebaya yang
lebih mampu.
Bahasa yang digunakan Vygotsky di tahun
1930-an menandakan pemikiran beliau yang progresif. Ketika ia membandingkan
berbagi definisi dari ZPD dengan para rekan kerja dan alumni, mereka sering
berkomentar bahwa gagasan dan bahasanya nampak seperti pada jaman (untuk tahun
1990-an) dan hampir sama dengan National Council of Teachers of Mathematics
Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics (1989) and the
Professional Standards for Teaching Mathematics (1991).
ZPD merupakan inti sari dari pemikiran
Vygotski. Dalam pendahuluan The Collected
Works of LS. Vygotsky (1987), Brunner mendiskusikan tentang ZPD sebagai
berikut. Ide dan ZPD difokuskan pada perhatian yang diperankan dalarn suatu
dialog antara guru yang lebih
ahli dengan siswa yang kurang ahli. Suatu konsep yang dijelaskan secara detail
dalam dialog, pembelajar mampu merefleksikannya dan menggunakan perbedaan serta
hubungannya untuk merumuskan kembali dalam pikirannya.
Guru pada umumnya diterima sebaga model
peran yang akan mempengaruhi perkembangan siswa. Hal ini bukanlah merupakan
suatu ide yang baru. Karena pada tahun 1930-an Vygotsky mempunyai perhatian
besar pada pengembangan kerja siswa dengan orang dewasa dan/atau teman
sebayanya. Dalam masa itu walaupun pembelajar belum mampu memecahkan
masalah-masalah secara bebas, namun sudah dapat menyelesaikannya dengan bantuan
orang lain. Vygotsky menyatakan bahwa semua proses psikologi yang tinggi
(higher psychological) berasal dari proses sosial, saling memberi antara orang,
khususnya antara anak dengan orang dewasa (Brown, 1965).
Selanjutnya dalam proses pematangan
guru dapat menfasilitasi siswa mempertemukan ZPD mereka dengan cara menyiapkan
pengalaman belajar bermakna. Orang dewasa mungkin membentuk pengalaman
anak-anak dan membantunya berpikir secara mendalam. Brown (1965) percaya bahwa
interaksi anak dengan orang dewasa yang menuntut aktivitas pemecahan masalah,
dan struktur lingkungan belajar, secara berangsur-angsur akan dapat
mengadaptasi kegiatannya secara terstruktur. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa
juga memiliki interaksi yang signifikan dengan materi; Misal balok-balok yang
diintegrasikan dalam memahami konsep geometri. Interaksi ini dapat juga
menfasilitasi siswa terhadap ZPD-nya untuk mencapai pengertian yang lebih baik.
Ketika Vygotsky mengembangkan
konstruksinya tentang ZPD pada tahun 1930-an. Dia secara khusus
mengaplikasikannya pada pengembangan kognitif anak-anak, yaitu: anak yang
berurnur 8-12 atau antara 8-9 tahun. Nampaknya batas usia ini tidak mengalami
kesulitan sebagaimana yang dikemukakan Vygotsky. Dalam Taylor (1991) Rachlin
(1986) telah menggunakan konstruksi tersebut dalam penelitian dengan
siswa-siswa SMA. Thornton (1989) mengaplikasikannya pada siswa SD, dan yang
lainnya mengaplikasikannya pada pengembangan orang dewasa (Wertsch, 1985).
Dengan demikian konstruksi ZPD dapat diaplikasikan terhadap pengembangan
anak-anak dan orang dewasa.
Saat
model dikaitkan dengan konstruksi psikologi Vygotsky khususnya ZPD, ternyata
model tersebut juga dipengaruhi oleh teori perkembangan Bandura (1986), Gardner
(1983), Bruner (1960), dan Papaert (1920). Pengaruh masing-masing perkembangan
tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut: Pertama, Bandura mengemukakan suatu interaksi yang kontinu antara
faktor pribadi, faktor lingkungan dan tingkah laku Resiprocal Determinism. Modelnya memandang tingkah laku sebagai
hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan, dimana Taylor memandang
tingkah laku (tindakan) sebagai suatu proses interaksi dengan seseorang dan
linkungan. Dua teori membagi pandangan sosio-kultural bahwa sikap dibangun dari
interaksi kompleks antara seseorang, lingkungannya dan tindakannya.
Kedua, Saya percaya teori model pelengkap Gardner (1983)
tentang intelegensi ganda. Interaksi antara intelegensi logika matematis
Gardner, intelegensi interpersonal dan intelegensi intrapersonal yang mungkin
mirip dengan interaksi antara pikiran matematis seseorang, tindakan, dan
perasaan (sikap matematika). Level intelegensi yang dikembangkan oleh Gardner,
khususnya intelegensi interpersonal dan intelegensi intrapersonal, mungkin
dihubungkan dengan teori Vygotsy yang menekankan pada fungsi mental yang lebih
tinggi yang bergerak di atara dua permukaan (interpsikologi dan intrapsikolgi).
Vygotsky percaya bahwa sekolah diperhatikan dengan kedua permukaan fungsi
mental ini dan bahwa ini penting bagi pelajar untuk memahaminya kemudian
mentransformasikan fenomena sosial ke dalam fenomena psikologi.
Ketiga, pengenalan Bruner (1960) terhadap pentingnya proses
atas suatu hasil sejalan dengan teori Vygotsky. Ini telah mempengaruhi
kepercayaan Taylor bahwa teori Bruner melengkapi pandangan sikap matematika
yang dikemukakan dalam artikel ini. Penekanan pada proses digambarkan dalam
model perkembangan individu. Keempat,
pandangan Papert (1980) tentang matematika sebagai budaya kongkruen dengan
teori sosio-kultural Vygotsky. Papert memperhatikan dengan teori perkembangan
pikiran, khususnya bagaimana cara gerakan intelektual dan gerakan budaya
mendefinisikan dirinya sendiri dan tumbuh. Papert percaya bahwa banyak jika
tidak semuanya, anak-anak yang tumbuh dengan suatu kecintaan dan bakat
matematika memiliki perasaan ini, paling tidak menunjukkan bahwa dari mereka
memperoleli kuman budaya matematika dari orang-orang dewasa, yang seseorang
mungkin akan mengatakan: mengetahui bagaimana berbicara matematika. Lebih jauh,
Papert mengusulkan bahwa komputer mungkin melayani sebagai suatu kekuatan untuk
mendobrak garis pemisah antara dua budaya (kemanusiaan dan ilmu pengetahuan).
Di dalam pendidikan matematika, Fennema
dan Reyes telah mencurahkan banyak perhatian terhadap kajian tentang ranah
afektif dan peran yang dimainkan di dalam pelajaran dan ketekunan seseorang
dengan matematika. Mereka percaya bahwa suatu sikap matematika yang positif
akan dihubungkan dengan harga diri seseorang dan kelanjutan kuliah
matematikanya. Suatu sikap siswa berperan terhadap citra mereka sendiri sebagai
seorang pelajar di dalam kelas. Karya kedua orang ini tampaknya juga sejalan dengan
Vygotsky. Teori yang didiskusikan di atas memberikan kerangka konseptual untuk
mendukung model. Secara khusus teori-teori ini mendukung (langsung atau hanya
menyinggung) ide bahwa sikap seorang siswa dibentuk melalui interaksi dengan
orang lain dan lingkungan.
7. Representation and Discovery learning
Salah satu model kognitif yang
sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan
nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa
belajar peneuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia
dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan
agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan
melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep
dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan
belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
1.
Pengetahuan itu bertahan lama atau lama
dapat diingat.
2.
Hasil belajar penemuan mempunyai efek
transfer yang lebih baik.
3.
Secara menyeluruh belajar penemuan
meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar
kognitif: a. Bahwa pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran
sebelumnya. b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning). c. Pemaknaan berdasarkan hubungan. d. Proses
kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembang pada
abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang
sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta
didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir,
menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru
dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana
informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan kognitif
ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini,
masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada
apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap
belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur
kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas
bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
1. Enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia
melalui tindakannya pada objek, siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam
usahanya memahami lingkungan.
2.
Iconic, dimana
belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3. Symbolic yang
mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak, siswa mempunyai
gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan
komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem simbol
ini samakin dominan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka
untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap
perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik
maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari
dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal
dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang
sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi
disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang
terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan
melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery
learning).
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di
atas (Burner, Ausubel, dan gagne), ternyata teori kognitif melibatkan hal-hal
mental atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan
jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi
melalui pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun
melalui proses pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan
kemudian.
8. Constructivist
Approach
Menurut Litter (dalam Medsker dan Holdsworth, 2000)
konstruktivisme merupakan prespektif baru dalam pendidikan, yang berisi
informasi, yang mengatur seseorang dalam memperoleh dan menjawab tantangan
teknologi. Konstruktivisme memperbaiki pola dan memiliki efek tidak langsung
terhadap pendekatan pembelajaran baru. Karren L Medsker and Kristina M.
Holdsworth (2001) menjelaskan : “Knowlegde is constructed in the mind of the
learner as a consequence of working through real-word situations.” (Pengetahuan
dibangun oleh pebelajar sebagai konsekuensi dari situasi nyata yang
dilakukannya). Ernest. secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu
konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak
constructivism).
Konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar
dipelopori oleh Piaget, bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut
skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan
menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya
sehingga terbentuk skemata yang baru, melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
informasi (persepsi, konsep) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif
(skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses
restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan
pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata
tersebut. Proses ini terjadi jika informasi baru tersebut agak berbeda atau
sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi yang
baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk
skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi
baru itu hanya kurang sesuai dengan skemata yang telah ada, maka skemata yang
lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri (Matthews, dalam Paul Suparno,1997). Piaget. semua pengetahuan adalah
suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang. Pengetahuan
bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia
yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses
pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi
karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Belajar adalah membangun pengetahuan dan belajar adalah “Knowledge
dependent”, bahwa pembelajaran menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki
untuk membentuk pengetahuan baru. Konstruktivistik berisi cara menerima
pembelajaran dan menyimpannya dengan prinsip penemuan baru. Pengetahuan
diperoleh tidak dengan cara mengulang, bukan dari proses penyatuan, tidak dapat
langsung digunakan, tidak dalam korporasi, tetapi proses memperoleh konsep
dengan membangun pengetahuan baru (Haris Mudjiman, 2007).
Berbagai konsep konstruktivistik diatas dapat
diisimpulkan bahwa penerapan konstruktivistik dapat dilakukan dengan memberikan
masalah pada siswa. Pemberian masalah dimaksudkan untuk merangsang siswa agar
berpendapat dan berpikir kritis ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta baru.
Siswa diperlakukan sebagai pemikir-pemikir, atau dilatih untuk menjadi pemikir,
bukan hanya sebagai penerima pasif pengetahuan. Pembelajaran konstruktivistik
lebih menekankan kepada peningkatan keterampilan proses belajar, tidak
sematamata pada hasil belajar. Untuk mencapai tujuan belajar, strategi yang
dijalankan guru adalah menciptakan belajar kolaboratif, yang memungkinkan
pembahasan suatu masalah dari berbagai sudut pandang.
Konstruktivistik dilakukan dengan pentahapan atau
tingkatan, yaitu :
a)
Observasi. Siswa belajar dengan situasi nyata.
b)
Membangun penafsiran. Siswa membangun penafsiran dari observasi dan
argumentasi untuk validitas dari sebuah penafsiran.
c)
Kontekstual. Siswa mengambil sesuatu secara kontekstual dari argumen yang
bervariasi.
d)
Masa belajar berpikir. Siswa melalui masa belajar, melaui observasi,
penafsiran dan lingkungannya.
e)
Kolaborasi. Siswa berkolaborasi di dalam observasi, interprestasi, dan
kontekstual.
f)
Banyak interprestasi, hasil pemikiran dari yang dilihat dari berbagai hal.
g)
Banyak perwujudan. Siswa mentransfer lebih dulu dari beberapa
interprestasi.
Menurut pandangan dan teori konstruktivistik, belajar
merupakan proses aktif dari si sebjek belajar untuk merekonstruksi makna, entah
itu teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar merupakaan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan
pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertianya menjadi berkembang.
Beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997) yaitu :
a)
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang
di lihat, dengar, rasakan dan alami.
b)
Konstruksi makna merupakan proses yang terus menerus.
c)
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
d)
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik
dan lingkunganya.
e)
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium
) adalah situasi yang baik untuk memacu proses belajar.
f)
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subjek
belajar, konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan
bahan yang sedang dipelajari.
Dalam konstruktivistik subjek belajar harus mencari sendiri
makna dari suatu yang mereka pelajari. Sesuai dengan prinsip tersebut, maka
proses mengajar, bukanlah kegiatan transfer pengetahuan dari guru ke subjek
belajar, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subjek belajar merekontruksi
sendiri pengetahuanya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subjek belajar
dalam membentuk pengetahuan dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan
justifikasi. Prinsip berpikir lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang
benar atas sesuatu. Karena itu pengajar/guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator untuk membantu optimalisasi subjek belajar. John Holt (dalam
Melvin. L. Siberman) proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a)
Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri.
b)
Memberikan contohnya.
c)
Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
d)
Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
e)
Menggunakannya dalam beragam cara.
f)
Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.
g)
Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
9. Social
Approach
Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks
sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi
secara bersama (mutual). (D. J. Bearison & B. Dorval.2002:390) Gauvain
(2001) menambahkan bahwa keterlibatan dengan
orang lain memberikan kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan
memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain
dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Ditegaskan pula
oleh Johnson & Johnson (2003) bahwa dengan cara ini, pengalaman dalam
konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Teori konstruktivis sosial Vygotsky relevan untuk
pendekatan ini. Menurut Rogoff (1998), model Vygotsky menyatakan bahwa anak
berada dalam konteks sosiohistoris. Dari Piaget dan Vygotsky ada
pergeseran konseptual dari individual ke
kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dukungan untuk
mencapai tahap atau level berikutnya. Ketika pengetahuan dan kompetensi belajar
siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pemberian dukungan.
Sesungguhnya, pembelajaran scaffolding mendorong siswa menjadi pelajar yang
mandiri dan mengatur diri sendiri (self-regulating).
Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan
untuk membantu siswa memperoleh kemajuan sampai mereka mampu mencapai
kemandirian. Secara operasional, teknik pembelajaran scaffolding dapat ditempuh
melalui tahapan berikut.
a.
Asesmen kemampuan dan taraf
perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone
of Proximal Development (ZPD).
Jabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap
yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scaffold. Sajikan
tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan siswa. Ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui
penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam
langkah pemecahan, dan pemberian contoh (modeling). Dorong siswa untuk
menyelesaikan tugas belajar secara mandiri. Berikan dukungan dalam bentuk
pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders), dorongan, contoh, atau
hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan
pengarahan diri.
b.
Pelatihan Kognitif (Cognitive Apprenticeship)
Pelatihan kognitif (cognitive
apprenticeship) berarti hubungan di mana pakar memperluas dan mendukung
pemahaman pemula dan menggunakan keahlian kultur
c.
Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara
pakar dengan pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak,
atau antara anak yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai
10. Technological
Approach
Pembelajaran tidak hanya terpaku pada
kegiatan yang lebih dari hanya berbicara dan transfer pengetahuan, Pembelajaran
yang dimaksudkan adalah perkembangan teknologi dimasa kini dan mendatang murid
butuh untuk persiapan dirinya Pemanfaatan teknologi informasi adalah basis
dalam pengembangan pembelajaran di dalam kelas, baik dalam pengaturan kelas
dengan alat teknologi tersebut (praktek), Guru berkepentingan untuk memilih dan
menetukan teknologi yang digunakan terutama kaitannya dengan kepentingan
spesifikasi kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh siswa dan hasil yang
diharapkan. Teknologi di dalam kelas membantu memperlancar kegiatan belajar
yang harus dilalui oleh murid dan memberikan kemudahan bagi guru dalam proses
mentransfer ilmu pengetahuan kepadamuridnya. Oleh karena itu lingkungan kelas
harus memberikan dukungan kepada kegiatan belajar yang menyenangkan bagi murid
dan guru mengajar dengan nyaman pula.
Pembelajaran tidak hanya terpaku pada kegiatan
yang lebih dari hanya berbicara dan transfer pengetahuan, seiring dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi sekolah mencari bentuk baru dalam proses
pembelajaran anak. Pembelajaran yang dimaksudkan adalah perkembangan teknologi
dimasa kini dan mendatang. Proses belajar mengajar itu sendiri berintikan
kegiatan belajar, dalam arti proses belajar mengajar harus mampu mengupayakan
bagaimana siswa belajar. Karena inti dari proses belajar mengajar adalah siswa
belajar, maka efektivitasnya sangat bergantung pada efektivitas siswa dalam
belajar. Demikian pentingnya kegiatan belajar, sehingga Muhibbin Syah
mengemukakan bahwa tanpa belajar tak pernah ada pendidikan, karena bagian
terbesar proses pendidikan adalah diarahkan pada tercapainya proses perubahan
pada diri manusia.
Efektivitas proses belajar menekankan
pada suatu usaha yang akan melahirkan aktivitas belajar yang efektif. Belajar
yang efektif pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas belajar yang optimal
pada diri siswa. Penerapan strategi belajar mengajar yang menekankan pada
keefektifan siswa dalam belajar, akan menyebabkan siswa dapat menggunakan
seluruh kemanpuan dasar yang dimilikinya untuk melakukan berbagai kegiatan
belajar yang dipersyaratkan.
Pengajaran dari sudut Proses (by Procee), adalah suatu pengajaran
dikategorikan efektif jika pengajaran itu berlangsung secara interaktif yang
dinamis sehingga memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya melalui
kegiatan belajar berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pengajaran
dari sudut hasil (by Product), adalah
suatu pengajaran dikatakan efektif jika siswa dapat mewujudkan tujuan
pengajaran baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Mengkaji kriteria tersebut diatas,
menunjukkan bahwa pengajaran yang efektif menitikberatkan pada penciptaan
aktivitas belajar siswa seoptimal mungkin. Guru harus selalu berusah
menfasilitasi atau menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa dapat belajar
secara aktif atas kesadaran dan kemauannya sendiri. Efektifitas pendidikan dan
pengajaran sering diukur dengan tercapainya tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Pengertian ini mengandung pokok pikiran bahwa pendidikan dan
pengajaran haruslah :
a. Bersistem
(sistematis), yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran secara
sistematis, mulai dari tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian,
dan penyempurnaan.
b. Sensitif
terhadap kebutuhan akan tugas belajar dan kebutuhan pembelajaran
c. Jelas tujuannya
dan kerena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya.
d. Bertolak dari
kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan yakni; peserta didik,
pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Untuk menunjang proses pembelajaran
yang efektif maka keberadaan teknologi sangat diperlukan sebagai salah satu
pendekatan dalam melakukan pembelajaran. karena dalam prakteknya teknologi
mempunyai andil yang besar dalam dunia pembelajaran modern, berkaitan dengan
hal diatas prinsip yang melandasi keberadaan teknologi dalam proses
pembelajaran sekurang – kurangnya ada 5
yaitu:
a. Teknologi dalam
pendidikan sebagai usaha memperoleh tingkah laku
b. Hasil belajar
siswa ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan
c. Pembelajaran
merupakan suatu proses
d. Proses pembelajaran
terjadi karena adanya suatu dorongan dan tujuan yang akan dicapai
e. Pembelajaran
merupakan bentuk pengalaman
Dari uraian diatas maka dalam
pembelajaran yang baik dalam konteks teknologi pendidikan, media atau alat
pembelajaran memiliki nilai manfaat bagi guru maupun murid karena cukup efektif
dan efisien dalam upaya pencapaian kompetensi yang diharapkan. Media atau
alat-alat pembelajaran tersebut seperti radio, televisi, laptop, internet, LCD
dan lainnya baik yang bersifat sederhana maupun modern sangat membantu
keefektifan proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis teknologi akan berjalan
sangat efektif jika guru menerapkan model pembelajaran berpusat pada siswa (student centered).
Dalam proses / konsep teknologi
pendidikan, tugas media atau alat bukan hanya sekedar mengkomunikasikan
hubungan antara sumber (pengajar) dan sipenerima (si anak didik), namun lebih
dari itu merupakan bagian yang integral dan saling mempunyai keterkaitan antara
komponen yang satu dengan yang lainnya, saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi.
Teknologi dalam pengajaran adalah
kajian dan praktik untuk membantu proses belajar dan meningkatkan kinerja
dengan membuat, menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi yang
memadai. Para ahli teknologi pendidikan berpendapat bahwa peranan utama
teknologi pendidikan adalah untuk membantu meningkatkan efisiensi yang
menyeluruh dalam proses belajar
mengajar.
Penerapan teknologi pendidikan dalam
pendidikan hendaknya membuat proses pendidikan pada umumnya dan proses belajar
mengajar pada khususnya lebih efisien, lebih efektive dan memberikan nilai
tambah yang positif. Efektif dan efesien berarti upaya pendidikan yang
dilakukan hendaknya dapat mencapai tujuan yang telah digariskan dengan sedikit
mungkin mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu.
Kondisi seperti tersebut di atas
dimungkinkan karena teknologi pendidikan memiliki beberapa implikasi dalam
pembelajaran diantaranya :
1. Potensi
teknologi pendidikan
Potensi sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ely dalam Sadiman sebagai beriku:
a. Meningkatkan
produktivitas pendidikan dengan jalan :
1) Mempercepat
laju belajar;
2) Membantu guru
untuk menggunakan waktunya secara lebih baik; dan
3)
Mengurangi beban guru dalam menyajikan
informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan
kegairahan belajar anak. Dengan demikian guru akan lebih banyak berfungsi
sebagai manajer pembelajaran.
b. Memberikan
pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan:
1) Mengurangi
kontrol guru yang kaku dan konvensional,
2) Memberikan
kesempatan anak belajar secara maksimal,
3) Dapat melayani
karakteristik individu yang berbeda-beda, karena adanya berbagai pilihan sumber
belajar.
c. Memberikan
dasar yang ilmiah pada pengajaran dengan jalan:
1) Perencanaan
program pengajaran yang lebih sistimatis; dan
2)
Pengembangan bahan pengajaran yang
dilandasi penelitian tentang prilaku manusia.
d. Lebih
memantapkan pengajaran dengan jalan:
1) Meningkatkan
kemampuan guru dengan berbagai media komunikasi, dan
2)
Penyajian data informasi secara lebih
kongkrit.
e. Kemungkinan
belajar secara seketika, karena dapat :
1) Mengurangi
jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah,
2) Memberikan
pengetahuan langsung apa yang ada di luar sekolah dapat dibawa masuk ke kelas.
SUMBER-SUMBER:
1)
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV.
Rajawali
2)
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable.
Jakarta: Depdikbud
3)
Haryanto. 2010. Teori Belajar Behaviorisme. dalam
http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme.
4)
Ormrod, Jeanne Ellis . 2012 . Psikologi
Pendidikan . United States of America : Pearson Education.
5)
Slavin, Robert E . 2008 . Psikologi
Pendidikan : Teori dan Praktik . Jakarta : PT.Indeks.
7)
Lincoln,
Yvonna S. dan Guba, Egon. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage
Publ. Inc.
8)
Parsons,
Richard D. & Hinson, Stephanie Lewis & Sardo-Brown, Deborah. 2001. Educational
Psychology: A Practicioner-Researcher Model of Teaching. Stamford:
Wadsworth Thompson Learning
9)
Santrock,
John W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, terj. TriWibowo.
Jakarta: Prenada Media Group.
11)
Paul Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme.
Jakarta : Kanisisus.
12)
Piskurich.
George M. 1993. Self-Directed Learning : A Partial Guide to Design, Development
and Implementation. Maryland : College Park.
13)
http://en.wikipedia.org/wiki/Taxonomy
of Educational Objectives# Cognitive/March 2006
14)
Michael
J. 1988. Innovative Teaching Strategies. Arizona : Gorsuch Scarisbrich.
Publisher.
15)
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori
Belajar Piaget. [15-2-2008].
16)
http://tip.psychology.org/ausubel.html.
[12 -2- 2008].
17)
Ausubel,
D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the critics.
Review of Educational Research, 48, 251-257.
18)
Ausubel,
D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978). Educational Psychology: A
Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.
19)
Dahar,
R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
20)
Roser,
R. A and Nicholson, G. L. (1984). Educational Psychology, Principles and Practice.
Boston: Little Brown.
21)
Novak,
J.D & Growin, D.B. (1985). Learning How to Learn. Cambrige: Cambrige
University Press
22)
Asep
Suryana,(2005): Makalah Technologies For
Restructuredclassrooms, disampaikan dalam lokakarya di Universitas Negeri Yqgya.
23)
Eggen,
Paul D & Don Kauchak, (1994), Education Psychology Classroom Connection,
New York: McMillan College Publishing Company Inc.
24)
Orastein,
Allan C, (1990), Strategies for Effective Teaching, New york: Harper and Row
Publisher.Inc.
25)
Nasution. 2005. Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
26)
http://id.Wikipedia.Org/wiki/teknologipendidikan.